Risalah Nabi Muhammad Berlaku untuk Seluruh Umat Manusia
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah;
‘Wahai umat manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah bagi kalian
semua. [Yang mengutusku adalah] Allah Dzat yang memiliki kerajaan langit
dan bumi. Tiada sesembahan yang haq selain-Nya Yang menghidupkan dan
mematikan’. Maka berimanlah kalian kepada Allah dan rasul-Nya seorang
nabi yang ummi (buta huruf) yang juga beriman kepada Allah dan
kalimat-Nya, maka ikutilah dia agar kalian mendapatkan hidayah.” (QS. Al A’raaf: 158)
Ketika mengomentari ayat ‘Wahai umat manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah bagi kalian semua.’ Syaikh Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini di dalamnya terdapat penegasan bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam rasul bagi semua manusia. Allah telah menegaskan hal itu dalam banyak ayat, seperti dalam firman-Nya (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutusmu kecuali untuk semua manusia.” (QS. Saba’: 28). Dan juga firman-Nya, “Maha
suci Allah Dzat yang telah menurunkan Al Furqan kepada hamba-Nya agar
dia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam semesta.” (QS. Al Furqan: 1). Allah juga berfirman, “Barang siapa yang ingkar kepadanya maka sesungguhnya neraka adalah hukuman yang dijanjikan untuknya.” (QS. Huud: 17)
Di
tempat yang lain, Allah memberlakukan keumuman risalah beliau itu
dengan sampainya al-Qur’an ini kepada mereka yaitu firman Allah ta’ala, “Telah
diwahyukan kepadaku al-Qur’an ini agar aku memberikan peringatan
dengannya kepada orang-orang sampai kepadanya wahyu ini.” (QS. Al
An’am: 19). Allah juga mempertegas keuniversalan risalah beliau ini
untuk ahli kitab dan bangsa Arab sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan
katakanlah kepada orang-orang yang diberikan al kitab dan orang-orang
yang ummi (bangsa Arab), ‘Apakah kalian mau berislam, jikalau kalian mau
berislam maka kalian telah mendapatkan hidayah.’ Dan jika mereka justru
berpaling, maka sesungguhnya kewajibanmu hanyalah sekedar
menyampaikan.” (QS. Ali ‘Imran: 20). Dan ayat-ayat yang lainnya.” (Tafsir Adhwa’ul Bayan, Maktabah Syamilah vol. 2)
Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandung
arah pembicaraan yang tertuju kepada semua jin dan manusia dengan
bermacam jenisnya. Allah tidak mengkhususkan suatu hukum apapun bagi
bangsa Arab, namun Allah mengaitkan hukum-hukum tersebut dengan penamaan
kafir dan mukmin, muslim dan munafik, orang baik dan orang fajir, orang
yang berbuat ihsan dan orang yang melakukan kezaliman… dan nama-nama
lain yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan Hadits. Sama sekali tidak
terdapat di dalam al-Qur’an dan juga Hadits sebuah pengkhususan bangsa
Arab dalam pemberlakuan sebuah ketentuan hukum syariat. Allah hanya
mengaitkan hukum-hukum tersebut dengan karakter-karakter yang dapat
menimbulkan kecintaan Allah atau yang dapat menyebabkan timbulnya
kemurkaan Allah. Dan diturunkannya al-Qur’an dengan bahasa Arab itu
adalah suatu proses tabligh/penyampaian semata. Karena orang yang
pertama kali beliau ajari adalah kaumnya. Kemudian melalui perantaraan
merekalah risalah ini disebarkan ke segenap umat manusia…” (Al Irsyad ila Sahih Al I’tiqad, hal. 224)
Hanya Agama Islam yang Diterima di Sisi Allah
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Kami memandang bahwa barang siapa yang pada masa sekarang ini
mendakwakan bahwasanya ada sebuah agama yang diterima di sisi Allah
selain agama Islam baik itu agama Yahudi, Nasrani ataupun yang lainnya
maka orang tersebut kafir. Kemudian kalau seandainya orang itu
sebelumnya adalah muslim maka dia harus diminta untuk bertaubat. Kalau
dia menurut maka diterima taubatnya, dan jika tidak maka dia berhak
dibunuh (oleh penguasa Islam -pent.) dengan status sebagai orang murtad
karena dia telah berani mendustakan al-Qur’an.” (Syarh ‘Aqidati Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 269)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi
Allah Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah ada
seorang manusia pun yang mendengar tentang kenabianku di antara umat
ini, entah dia beragama Yahudi ataupun Nasrani lantas tidak mau
mengimani ajaran yang aku bawa ini melainkan dia pasti tergolong
penduduk neraka.” (HR. Muslim)
Di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diberikan lima hal yang tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelum diriku…” di antara kelima hal itu adalah, “Dan nabi yang terdahulu diutus hanya kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh umat manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh sebab itu Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan
di dalam kitab aqidahnya yang sangat populer, “Dan beliau (Nabi
Muhammad) diutus untuk seluruh bangsa jin dan segenap umat manusia,
dengan mengemban kebenaran dan hidayah, dengan membawa cahaya dan
pancaran sinar (wahyu).” Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah
mengatakan, “Keberadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
rasul yang diutus kepada semua manusia adalah perkara yang sudah pasti
diketahui semua orang Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam.”
(lihat Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 221-222)
Maka sangatlah wajar jika Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Kami memandang bahwa barang siapa yang pada masa sekarang ini
mendakwakan bahwasanya ada sebuah agama yang diterima di sisi Allah
selain agama Islam baik itu agama Yahudi, Nasrani ataupun yang lainnya
maka orang tersebut kafir…” (Syarh ‘Aqidati Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 269)
Kewajiban Mengikuti Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ ar Rasyidun
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib
bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa’ ar rasyidin al
mahdiyin sesudahku. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan
geraham-geraham. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena
sesungguhnya semua yang diada-adakan (dalam hal agama) adalah bid’ah dan
setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Tirmidzi dan lain-lain)
Ibnu Rajab mengatakan di dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (2/120),
“Sunnah adalah suatu jalan yang ditempuh. Dengan demikian perintah
tersebut (berpegang teguh dengan sunnah -pent) mencakup berpegang teguh
dengan segala keyakinan, amal, maupun ucapan yang diajarkan oleh beliau
dan para khulafa’ur rasyidin. Inilah makna sunnah secara sempurna. Oleh sebab itu para salaf terdahulu
tidaklah menyebutkan istilah As Sunnah melainkan untuk menunjukkan
makna yang mencakup hal itu semuanya…” (dinukil dari Fathu Al Qawiy Al Matin, hal. 97-98)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Khulafa’ ar Rasyidun adalah orang-orang yang menggantikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
mengemban ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Sedangkan orang-orang
yang paling pantas untuk menyandang gelar ini adalah para Sahabat radhiyallahu ‘anhum, karena sesungguhnya Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menegakkan agamanya. Sementara itu, tidaklah mungkin Allah ta’ala memilihkan
-padahal Dia adalah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana- orang-orang
untuk menjadi sahabat bagi Nabi-Nya kecuali orang-orang yang paling
sempurna keimanannya, paling baik akalnya, paling konsisten dalam
beramal, paling kuat tekadnya, dan yang paling mengikuti petunjuk dalam
berjalan. Mereka adalah orang-orang yang paling berhak untuk diikuti
sesudah Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam,
begitu pula para ulama pemimpin agama ini yang telah dikenal berjalan
di atas petunjuk dan telah dikenal kebaikan agamanya.” (lihat Fathu Rabbil Bariyyah, hal. 8)
Kewajiban Menerima Hadits Sahih Meskipun Berstatus Ahad
Abu
Ja’far Ath Thahawi yang kitab akidahnya telah diakui oleh ulama dari
berbagai madzhab mengatakan, “Semua berita yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mengandung aturan syariat ataupun penjelasan (tentang suatu perkara)
semuanya adalah benar.” Ini menunjukkan bahwa semua hadits sahih dari
Nabi harus diterima dan diyakini kebenarannya, meskipun ia berstatus
ahad (bukan hadits yang banyak jalan periwayatannya, lawan dari mutawatir). Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah mengatakan,
“Hadits ahad apabila diterima oleh umat dalam bentuk pengamalan ataupun
pembenaran maka ia memberikan faedah ‘ilmu yaqini (pengetahuan yang
harus diyakini) menurut mayoritas umat, bahkan ia tergolong salah satu
tipe hadits mutawatir. Dan tidak ada perselisihan di antara para pendahulu umat ini tentang hal itu…” (lihat Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 348-349)
An Nawawi rahimahullah di dalam Syarh Muslim (1/177)
mengatakan, “Telah tampak dengan jelas dalil-dalil syariat dan
argumen-argumen akal yang menunjukkan tentang wajibnya beramal dengan
hadits ahad. Para ulama telah menetapkan hal itu beserta
penunjukan-penunjukannya di dalam kitab-kitab fikih dan ilmu ushul.
Mereka telah menyampaikannya dengan sejelas-jelasnya. Para ulama ahli
hadits maupun pakar agama di bidang lainnya juga telah menulis karya
yang banyak mengenai hadits ahad dan kewajiban untuk mengamalkannya, wallahu a’lam.” (dinukil dari Syarh Al Waraqat, hal. 213-214)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits ahad -selain hadits ahad yang berderajat lemah- itu memberikan faedah, Pertama:
Zhann/dugaan dalam artian kecenderungan benarnya penisbatan hadits
tersebut kepada sumbernya. Dan hal itu bertingkat-tingkat bergantung
pada derajatnya yang telah dijelaskan sebelumnya (yaitu hadits ahad ada yang sahih dan ada yang hasan, pent). Dan terkadang ia memberikan faedah ilmu (kepastian) apabila terdapat indikasi-indikasi yang mendukungnya dan ditopang oleh dalil-dalil yang lainnya. Kedua:
Mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Apabila berupa berita maka
harus dibenarkan, dan apabila berupa tuntutan maka harus diterapkan.
Adapun hadits ahad
yang lemah maka ia tidak memberikan faedah dugaan ataupun amalan, dan
juga tidak boleh menganggapnya sebagai dalil. Serta tidak boleh
menyebutkannya tanpa menerangkan kelemahannya…” (Taisir Mushthalah Hadits, hal. 19). Allahu a’lam.
Dari artikel Kewajiban Hamba Dalam Menjalani Agamanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar